Home Opini Tindakan Kepolisian : SAKSI DIDUGA DIJADIKAN TERSANGKA TANPA CUKUP ALAT BUKTI (Studi Kasus Pengeroyokan, salah penanganan).

Tindakan Kepolisian : SAKSI DIDUGA DIJADIKAN TERSANGKA TANPA CUKUP ALAT BUKTI (Studi Kasus Pengeroyokan, salah penanganan).

suroso  Senin, 27 Juni 2022 9:2 WIT
Tindakan Kepolisian : SAKSI DIDUGA DIJADIKAN TERSANGKA TANPA CUKUP ALAT BUKTI (Studi Kasus Pengeroyokan, salah penanganan).

Oleh : Saverius Tebai


Dalam penegakan hukum positif di Indonesia terhadap berbagai kasus yang terjadi dari segi penanganan kasus tidak mengedepankan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 01 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Standar Operasional Prosedur (SOP) baku yang berlaku dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia.

Lagi-lagi kali ini terjadi di Timika. Pada 02 Juni 2022, terjadi suatu aksi pengeroyokan, yang penulis mendapatkan informasi dari saksi langsung, bahwa saya atas nama inisial ST melakukan perjalanan bersama 5 orang dengan maksud mengambil babi untuk merayakan tiga malam meninggalnya orang tuaku di rumah. Dalam perjalanan itu sepulangnya dari arah Pasar Baru - Irigasi Timika dengan mengendarai mobil pick up. Tepatnya di daerah Petrosea Jalan WR. Supratman beberapa orang sedang melakukan pemukulan terhadap satu orang masyarakat saya menggunakan helm. Melihat peristiwa itu, saya sendirian turun dari mobil dan 5 orang itu tidak turun dari mobil. 

Seketika itu juga kedua orang pelaku pengeroyokan langsung menghentikan aksinya menuju rumah Valen. Kemudian saya bersama anak yang dikeroyok itu masuk ke halaman rumah Valen. Tepatnya di pintu pagar hendak masuk ke halaman, lemparan batu mengenai pangkal paha dekat alat kemaluanku. Kemudian karena terbawa emosi saya pun melakukan pelemparan. Lalu karena pelemparan dari dalam membabibuta, sehingga saya undur antisipasi kondisi lebih buruk. 

Kemudian berdatangan banyak orang asli dan pendatang yang kami tidak undang, mrereka pun melakukan pelemparan ke arah rumah. Ternyata dalam rumah Valen itu banyak orang juga. Kemudian saya langsung naik mobil pick up dan saya melanjutkan perjalanan menuju rumah. Demikian kronologis yang dapat saya ceritakan oleh yang hingga hari ini hari ke 21 saya dalam penjara. 

Lebih lanjut dijelaskan oleh ST, bahwa pada 3 Juni 2022 pukul kurang lebih 03.00 dini hari ST dijemput oleh polisi tanpa surat perintah penangkapan dengan alasan dijemput sebagai “saksi” sehingga ST dengan istrinya mengindahkan penangkapan itu dengan mengikuti anggota polisi. 

Berdasar pada kronologis dari sumber primer ini, maka jika ditinjau dari sisi hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pendekatan penyelesaian masalah ditindak berdasarkan konstitusi. Misalnya pada Pasal 17 Kitab Undang-undanga Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebut “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindakan pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. 

Mahkamah Konstitusi mendefinisikan bukti permulaan yang cukup minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHP. Kemudian di pasal 18 KUHAP berkaitan dengan Surat Tugas dan Perintah penangkapan. Berbunyi pasal 18 adalah “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperhatikan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”. 

Pemberlakuan dalam penanganan masalah di masyarakat, maka ST tidak diperlakukan selayaknya “saksi” yang harusnya dimohon oleh polisi secara baik-baik sesuai dengan Standar Operation Prosedur (SOP) yang berlaku. Sesuai pasal 18 KUHP, maka kalaupun ada surat penangkapan, maka setelah diperiksa pelaku utama barulah bisa melakukan penangkapan. 

Kemudian kesalahan ST yang diduga pelaku adalah masyarakat yang kurang paham akan penegakan hukum positif, sehingga mengindahkan penangkapan yang dilakukan oleh personil polisi di Mapolres Mimika. ST memiliki hak untuk menolak penangkapan tersebut tanpa bukti yang jelas karena surat penangkapan yang merupakan syarat formal yang bersifat imperative, agar jangan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.  

Saksi diduga “tersangka” tanpa adanya pemeriksanaan pendahuluan yang dilakukan, maka hukum positif yang berlaku di negara ini memiliki alat bukti yang cukup sesuai ketentuan pasal 184 KUHP. Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa, tanpa adanya minimal dua alat bukti, petugas kepolisian tidak dapat melakukan penangkapan. Kemudian penyidik Polres Mimika, tidak mengindahkan Perkap Nomor 01 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan SOP dalam menangani kasus. Penyidik pada Polres Mimika telah mencederai nama institusi Polri. 

Secara de facto, bahwa ST tidak dapat dijadikan sebagai “turut serta” sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 KUHP, maka yang harus dilakukan pihak penyidik adalah mesti adanya pembuktian-pembuktian hukum yang mendukung dimana harus dibuktikan bahwa yang bersangkutan turut serta maka dapat dipahami bahwa orang yang membantu tindak kejahatan juga memperoleh hukuman yang adil dan setimpal. Dalam hal kasus ini ST tidak terbukti turut serta, bahwa ST berperan menyelamatkan nyawa dari seseorang yang dikeroyok di tengah jalan. 

Penyidik mesti memberikan klarifikasi kepada publik, mengenai beberapa hal, pertama Polisi secara gentle harus menyatakan dihadapan publik, salah penetapan tersangka ataukah ada unsur lain yang dikait-kaitkan, sehingga berupaya menabrak aturan hukum enggan diterapkan dalam penanganan kasus di masyarakatnya di wilayah kerja. Kedua Dalam penanganan kasus, penyidik mesti menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan menegakkan keadilan, maka tahanan terhadap ST ditangguhkan yang hingga hari ini 23/6/2022 diduga dijadikan tersangka tanpa alat bukti, dan ketiga  pelapor (dan atau / pelaku) perlu diperiksa sebagai secara intens sesuai hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Melalui kajian ini penulis berkesimpulan bahwa akibat salah penanganan kasus, maka pihak penyidik pada Mapolres Mimika berpotensi dilaporkan ke Propam Papua untuk proses perdata. Kemudian ST tanpa syarat ditangguhkan penahanannya dan mesti kasus ini diselesaikan secara mendetail dengan cara duduk kasus agar hukum positif dapat ditegakkan di negara ini. 

Studi Kasus yang sedang berlangsung,  

Dikaji oleh Saverius Tebai/Alumni Magister HTN Untama Jakarta.

suroso  Selasa, 30 Agustus 2022 23:28
Papua Dalam Permainan Sio (Persio) Penuh Korban
*) Oleh : Anton Agapa (TOA)
suroso  Kamis, 3 Agustus 2023 0:39
Mafia Tanah Adat di Papua Harus Dilawan
Masyarakat adat telah hidup pada wilayah adatnya masing masing sejak leluhur tanpa saling mengganggu, pada waktu lalu upaya upaya penguasaan kadang berakhir dengan konflik fisik, namun harus diakui juga terjadi juga migrasi dari satu wilayah adat ke wilayah adat lain, karena konflik dalam keluarga atau saat perang hongi.dll.

Hahae

Tatindis Drem Minyak
suroso  Sabtu, 16 April 2022 3:53

Pace satu dia kerja di Pertamina. Satu kali pace dia dapat tindis deengan drem minyak. Dong bawa lari pace ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan dokter, pace pu kaki patah.

Setelah sembuh, pace minta berhenti kerja di Pertamina.

Waktu pace ko jalan-jalan sore di kompleks, pace ketemu kaleng sarden. Dengan emosi pace tendang kaleng itu sambil batariak "Kamu-kamu ini yang nanti besar jadi drem." 

Populer

Mafia Tanah Adat di Papua Harus Dilawan
suroso  Kamis, 3 Agustus 2023 0:39
Peran penting Sekolah dalam Proses Pendidikan
suroso  Senin, 3 Juli 2023 0:14
Pemkab Dogiyai Buka Subsidi Angkutan Udara
suroso  Selasa, 11 Juli 2023 22:15
Iklan dan berlangganan edisi cetak
Hotline : 0853 2222 9596
Email : papuaposnabire@gmail.com

Berlangganan
KELUHAN WARGA TERHADAP PELAYANAN UMUM
Identitas Diri Warga dan Keluhan Warga

Isi Keluhan